Saat ini, sudah 1 tahun 3 bulan, kita hidup berdampingan dengan Covid-19. Virus yang berasal dari Wuhan, Cina tersebut sudah melanglang buana ke seluruh dunia. Hampir tidak ada satupun negara yang bebas dari kasus Covid-19, hanya dengan pembeda banyaknya kasus aktif dan sembuh di setiap negara.
Kondisi pandemic yang tadinya diperkirakan sudah akan turun melandai di awal tahun 2021, kembali meledak di hampir seluruh penjuru dunia kembali dengan tingkat penularan dan keparahan yang lebih tinggi, dan bahkan bermunculan varian baru dari virus tersebut.
Update per hari ini, 01 Juli 2021 kasus Corona Virus diseluruh dunia sudah mencapai 182,9juta kasus, dengan 167juta pasien sembuh dan 3,9juta pasien meninggal dunia. 5 negara dengan kasus terbanyak diantaranya adalah Amerika Serikat, India, Brasil, Perancis dan Rusia (sumber : Kompas.com – Worldometers)
COVID & PEREKONOMIAN INDONESIA
Di Indonesia sendiri, hingga kemarin (30 Juni 2021), kasus positif sudah bertambah lagi sebanyak 21.807, sehingga total kasus di Indonesia sudah mencapai 2.178.272 orang, dengan 1.880.413 pasien sembuh dan 58.491orang meninggal dunia (sumber : Kompas.com)
Saat ini, Pemerintah juga sudah mulai mempertimbangkan kemungkinan adanya PPKM MIkro Darurat yang akan kembali membatasi pergerakan masyarakat, terutama di kota-kota besar.
Covid-19 yang meyerang seluruh dunia, tidak hanya berdampak pada kesehatan penghuni bumi, namun juga berdampak besar pada perekonomian global. Menurut IMF dalam keterangan tertulisnya, pada bulan Juni 2020, proyeksi kerugian dari perekonomian global bisa mencapai US$12 Triliun atau setara dengan Rp 168.000 Triliun dan bisa menyebabkan perekonomian global jatuh kedalam jurang krisis (sumber : https://money.kompas.com) dan hal tersebut terbukti dengan banyaknya negara yang jatuh ke jurang krisis dengan turunnya PDB dari semua negara
Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada tahun 2020, sejak keputusan pemerintah untuk menerapkan PSBB sejak April 2020, angka pengangguran dan kemiskinan pun meningkat, seiring dengan semakin bertambahnya perusahaan yang kolaps dan tutup. Bahkan berita terbaru saat ini, ritel sebesar Giant pun menutup gerai-gerainya di Indonesia dan merumahkan puluhan ribu karyawannya. Dengan meningkatnya pengangguran dan meningkatnya angka kemiskinan, maka terjadi penurunan daya beli masyarakat yang pada akhirnya berimbas kembali pada kerugian yang harus di tanggung oleh produsen karena penumpukan barang atau produk.
PERIKLANAN VS COVID-19
Sesuai teori ekonomi, menurunnya permintaan pasar (Demand) akan menurukan pula pelepasan produk di pasar (Supply), penurunan ini juga berdampak pada turunnya keuntungan (Laba bersih) atau bahkan terjadinya kerugian pada perusahaan atau produk.
Untuk mengurangi dampak kerugian, maka dilakukan pemotongan dan pengurangan di berbagai sector, dengan pemotongan terbesar pada sumber daya manusia dan BIAYA PROMOSI. Sehingga kondisi ini juga berimbas pada banyaknya perusahaan media dan agensi periklanan yang mengurangi karyawannya atau bahkan tutup.
Pemotongan biaya promosi bisanya merupakan hal pertama yang dilakukan oleh perusahaan saat terjadi kerugian atau penurunan laba perusahaan, apalagi saat terjadi krisis ekonomi global yang berdampak pada penurunan daya beli masyarakat. Hal ini selalu karena dipicu oleh kepercayaan dari para CEO / Pemimpin Perusahaan bahwa “beriklan hanyalah salah satu cara untuk mendapatkan penjualan” sehingga jika terjadi krisis global yang akan berdampak besar pada penurunan penjualan, maka yang harus di potong pertama adalah biaya promosi. Sehingga mereka melupakan satu hal paling penting dari beriklan, yaitu “IKLAN ADALAH INVESTASI JANGKA PANJANG”
Maka selayaknya sebuah INVESTASI, iklan tidak boleh berhenti saat terjadi krisis ekonomi dan penurunan daya beli. Kenapa ? karena masyarakat sebetulnya bukan berhenti membeli, hanya terjadi PERUBAHAN/SHIFTING pada pola pembelian mereka. Baik perubahan yang kecil maupun perubahan siginifikan. Dan perubahan itu bisa menjadi sebuah kebiasaan jangka panjang atau bahkan menjadi loyalitas bagi sebuah produk. Dan seperti yang kita tahu juga, bahwa Target Pasar atau Audience yang merupakan LOYALIS sebuah produk adalah audience yang paling sulit untuk di pengaruhi oleh produk lain.
Belajar dari produk SABUN CUCI DAIA buatan Wings Group. Produk ini justru launching pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1998. Saat itu nilai tukar dollar melonjak tidak terkendali dari Rp 2.500,- per US$1 menjadi Rp 16.000,-
Lonjakan tersebut membuat Indonesia terpuruk dalam krisis moneter yang hebat, semua harga barang-barang naik berpuluh kali lipat, pengangguran meningkat dengan cepat dan kerusuhan meledak di beberapa kota besar terutama Jakarta, hingga diberlakukan Siaga 1
Saat itu, produk-produk keluaran Unilever dan P&G mengalami kenaikan harga yang siginifikan, untuk menutup biaya produksi dan sebagainya. Namun kenaikan harga tersebut juga berdampak pada penurunan penjualan mereka ke tingkat yang jauh lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, karena daya beli pasar yang mengalami penurunan lebih hebat.
Saat itulan WINGS GROUP mengambil moment tersebut dengan meluncurkan produk Sabun Cuci DAIA, dengan harga yang sangat terjangkau atau bisa dikatakan jauh dibawah harga dari RINSO milik Unilever yang telah menjadi pemimpin pasar selama puluhan tahun. Dengan dibantu oleh promosi yang kuat, DAIA mulai memposisikan diri sebagai produk sabun cuci yang murah tapi tetap memiliki kualitas setara dengan produk mahal. Hal ini membuat pemasaran DAIA berhasil dan bahkan bertahan hingga saat ini.
Saat ini –bisa dikatakan– DAIA telah menjadi salah satu pemain besar untuk produk sabun cuci dengan harga murah tapi bukan produk murahan
Keberanian Wings Group untuk mengambil langkah tersebut bisa menjadi pelajaran penting, bahwa IKLAN ADALAH INVESTASI, dimana selayaknya investasi, maka jika kita terus berinvestasi, maka keuntungan juga akan terus mengikuti kita
Lalu, apakah kita harus berhenti melakukan promosi pada saat pancemi ini ? jawabannya adalah TIDAK. Karena kita tidak pernah tahu, kapan pandemic ini akan berakhir, maka sebaiknya kita belajar untuk hidup berdampingan dengan pandemic dan terus berinvestasi sehingga keuntungan (awareness) tetap terjaga dan tidak akan pergi dari produk atau brand kita.
YUK TERUS BERIKLAN ……
Sumber : dari berbagi sumber
Penulis : Renie A. Priyanto (Praktisi Media dan Dosen IlKom)
Instagram : cksbgroup
Facebook : cksb